Makna Ritual Buka Pintu dalam Tradisi Sunda

Prosesi buka pintu merupakan salah satu ritual dalam serangkaian upacara pernikahan adat Sunda, yang biasanya dilaksanakan setelah prosesi nincak endog. Prosesi ini memberikan pemahaman kepada kedua pengantin dalam hidup bermasyarakat. Yaitu, agar dapat bergaul baik dengan tetangga dan diterima menjadi bagian dari lingkungan sekitar, keduanya harus membuka pintu terlebih dahulu.

Ritual yang dilakukan seusai akad nikah ini dimulai dengan mempelai pria mengetuk perlahan pintu rumah sebanyak tiga kali. Dari dalam sang mempelai wanita telah menanti pujaannya di depan pintu. Pengantin wanita menjawab ketukan dengan sebuah tembang berisi pertanyaan. Dengan penuh harap, mempelai wanita menunggu jawaban untuk memastikan apakah benar orang yang berada di luar sana merupakan lelaki pujaannya atau bukan. Dahulu, kedua mempelai saling berdialog seperti berpantun dalam bahasa Sunda, tetapi sekarang ini juru rias selaku pemimpin jalannya upacara membantu kedua mempelai untuk berdialog. Percakapan itu pun diakhiri dengan mempelai wanita mengajukan agar mempelai pria mengucapkan dua kalimat syahadat. Hal ini untuk membuktikan apakah sang suami dapat menjadi imam yang baik dalam kehidupan berumah tangga nanti.

Setelah pintu terbuka dan sang suami masuk ke dalam, sang mempelai wanita menyambut suaminya dengan menjabat tangan khas tradisi Sunda yang disebut munjungan. Caranya, mempelai wanita dan mempelai pria saling menyentukan kedua telapak tangan lalu kedua ujung jarinya ditempelkan ke hidung. Kemudian mempelai wanita menunduk sedikit, serta menyentuhkan ujung-ujung jarinya kepada kedua ujung jari mempelai pria sebagai tanda hormat istri kepada suami. Maksud dari berjabatan tangan itu pula agar suami lebih santun. Di akhir upacara buka pintu, mempelai wanita berdiri di sisi kanan mempelai pria untuk digandengkan (pacantel) tangan kiri mempelai wanita dengan tangan kanan mempelai pria.

Sesungguhnya upacara buka pintu merupakan ritual adat yang diadopsi dari ritual pernikahan adat Banjarmasin. Konon, Pangeran Hidayatullah yang merupakan seorang raja ketiga Kesultanan Banjar dibuang oleh Belanda ke Tanah Pasundan yakni Cianjur. Di suatu ketika, putri Pangeran Hidayatullah melangsungkan pernikahan dengan adat pernikahan Banjarmasin. Di tengah keramaian para tamu yang hadir, diundang pula para pejabat dan bangsawan Tanah Parahiyangan salah satunya RAA Kusumahningrat, seniman Cianjur yang kesohor pada masa itu. Rupanya beliau tertarik dengan sesi upacara ketuk pintu pada pernikahan Banjarmasin itu, sehingga diadaptasilah ritual tersebut pada pernikahan Sunda. Itu mengapa nama ritual tersebut menggunakan bahasa Indonesia bukan bahasa Sunda.

Teks: Mery Desianti
Foto: Ilham Tawakal Photographer (Isni dan Vicko) dan Bernardo Halim - Lighthouse Wedding Photography (Nadia dan Rabindra)

LEAVE A COMMENT

BACK
TO TOP
0