Malam Bainai, Malam Terakhir Sang Gadis Minang

Sebagai salah satu peristiwa penting dalam hidup manusia, beberapa ritual adat yang mengandung berbagai makna selalu menyertai prosesi pernikahan tradisional. Rangkaian ritual yang dimulai sejak beberapa hari sebelum hingga setelah pernikahan. Di beberapa daerah seperti Sumatera Barat, Jawa Tengah, Makassar dan beberapa daerah lain, pada malam menjelang pernikahan digelar prosesi seperti malam bainai pada adat Minang, midodareni pada adat Jawa, dan mapacci pada adat Makassar.

Malam bainai yang kali ini kita bahas, merupakan malam terakhir terakhir bagi calon pengantin wanita Minang merasakan kebebasan sebagai wanita lajang. Tak heran bila momen tersebut menjadi saat-saat yang ingin habiskan bersama keluarga dan teman dekat. Sebelumnya, calon mempelai wanita atau dalam bahasa Minang disebut anak daro, melakukan ritual mandi-mandi, setelah itu dilanjutkan dengan ritual malam bainai. Tak jauh berbeda dengan tradisi Yogya atau Solo dimana biasanya dilakukan siraman sebelum malam midodareni.

Yang membedakan ritual mandi-mandi dengan prosesi siraman dalam tradisi Jawa adalah anak daro tidak disiram hingga basah kuyup, tetapi hanya dipercikkan air sebagai simbolik saja. Yang boleh memercikkan air haruman tujuh bunga pun hanya para sesepuh kerabat terdekat dari pihak calon anak daro, dengan menggunakkan daun sitawa sidingin. Dan percikan terakhir dilakukan oleh kedua orang tua anak daro. Jumlah pemercik pun harus ganjil, misalkan berjumlah lima, tujuh atau sembilan orang. Kehadiran dan partisipasi sesepuh serta para kerabat untuk menunjukkan wujud kasih sayang mereka kepada anak daro yang sebentar lagi akan menghelat pesta pernikahan.

Di hari tersebut calon anak daro memakai busana khusus, busana tokah yang terbuka pada bagian lengan. Usai mandi-mandi, anak daro dibimbing kedua orang tua berjalan menuju pelaminan. Kain jajakan kuning terbentang menuju pelaminan, menunggu dipijak oleh anak daro. Setelah dipijak, kain jajakan kuning pun segera digulung oleh saudara laki-laki anak daro yang mengandung arti supaya pernikahan yang ditempuhnya cukup satu kali seumur hidupnya.

Inai yang sudah digiling telah dipersiapkan, malam bainai pun tiba. Kata 'bainai' diambil dari kata benda yaitu inai yang termasuk jenis tumbuh-tumbuhan yang memberikan warna jingga pekat setelah ditumbuk halus dan dibubuhkan pada kuku jari beberapa lama. Jadi kata 'bainai' jika diartikan dalam bahasa Indonesia memiliki arti berinai atau memakai inai. Dalam tradisi Minangkabau yang selalu berdampingan dengan agama, mensyariatkan bahwa tidak semua sepuluh kuku jari tangan dipakaikan inai, namun hanya sembilan jari. Karena sepuluh berarti sempurna, sedangkan kesempurnaan hanya milik Tuhan. Para kerabat yang memakaikan inai biasanya akan membisikkan kata-kata berisi nasihat tentang berumah tangga kepada anak daro.

Kuku jari yang dipakaikan inai pun mempunyai makna yang berbeda-beda. Misalkan saja kuku kelingking yang dipilih oleh salah satu teman atau kerabat untuk diinai menyisipkan harapan semoga anak daro kelak dapat mengatasi hal-hal sulit yang susah ditembus oleh suami. Kuku jari tengah yang dimerahi inai pun mempunyai pertanda agar kelak anak daro dapat adil membagi kasih sayang selayaknya kasih sayang yang telah dicurahkan kedua orang tuanya. Seseorang yang memberikan inai pada jari manis anak daro pun turut menyimpan harapan. Seperti yang sudah diketahui jari manis menjadi tempat cincin kawin tersemat yang menjadi simbol cinta abadi, pun inai yang dibubuhkan menjadi doa agar cinta mereka setia abadi.

Inai yang terpasang pada kuku jari yang dibalut daun sirih, menurut kepercayaan nenek moyang dahulu menyimpan kekuatan magis untuk menangkal hal buruk dari seseorang yang dengki kepada anak daro. Selama masih ada warna kemerahan dari inai pada kuku anak daro, selama itu lah anak daro akan tetap terlindungi hingga pesta pernikahan usai. Di samping itu pula, pacar pada kuku menunjukkan status seorang wanita yang telah menikah. Namun seiring masuknya Islam, kepercayaan-kepercayaan tersebut tak lagi dipegang erat, hanya dianggap semata-mata nilai tradisi yang tidak boleh dihilangkan.

Teks: Mery Desianti
Foto: Timur Angin, Cielo Photography (Eza Yayang & Ketty), Isomoto (Anggun & Alfa)

LEAVE A COMMENT

Comments (2)

  • mery desianti

    24 Sep 13

    halo Mbak Dianymb, wah bagus tuh sekalian melestarikan tradisi adat :) Ada kok vendor yg spesialis minang, salah satunya Des Iskandar. Atau boleh juga cek di list vendornya Weddingku.

  • diany mega bakti

    19 Sep 13

    suka banget, kalau mau merried mau ada malam2 bainai juga , ada vendor yg bisa ngurus ini gak? infonya donk

BACK
TO TOP
0