Tiga Budaya Jadi Satu di Gedung Dhanapala
Cinta datang tanpa berita. Menyelinap begitu saja ke dalam hati dua insan yang bahkan kerap tak menyadari kehadirannya. Seperti Asti dan Jaka yang bertemu dalam sebuah forum kegiatan sukarelawan untuk Lembaga Swadaya Masyarakat di Indonesia.
Cinta datang tanpa berita. Menyelinap begitu saja ke dalam hati dua insan yang bahkan kerap tak menyadari kehadirannya. Seperti Asti dan Jaka yang bertemu dalam sebuah forum kegiatan sukarelawan untuk Lembaga Swadaya Masyarakat di Indonesia. Kepribadian Asti yang sederhana ditambah hobi jalan-jalannya langsung memikat hati Jaka yang memiliki kegemaran yang sama. Sebagai seorang perempun yang kritis, Asti kerap mengutarakan pendapat atau pertanyaan tentang berbagai hal, serta wawasan Jaka yang cukup luas, membuat keduanya betah berlama-lama menghabiskan waktu sambil bertukar pikiran. Satu hal lagi yang membuat kekaguman Asti terhadap Jaka bertambah adalah sifatnya yang mandiri dan perhatian terhadap keluarga dan teman-temannya.
Cukup setahun waktu yang diperlukan Asti dan Jaka sebelum memutuskan untuk menjalani hidup berdua. Sebagai anak pertama, Jaka dan Asti memiliki ‘beban’ psikologis untuk mengikuti kehendak orangtua. Maka, setelah beberapa persiapan yang cukup unik, seperti kartu undangan yang harus dicetak dalam tiga versi berbeda, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris untuk resepsi, serta untuk Ngunduh Mantu. Sampailah mereka pada puncak acara, dimana akad nikah digelar dalam adat Palembang, sesuai asal Ibu Asti, dilanjutkan dengan resepsi bertema Minang sebagai penghormatan terhadap ayah Asti. Kebahagiaan begitu jelas terpancar di wajah keduanya dalam balutan elegannya busana Minang bernuansa biru.
Seminggu berselang, rangkaian acara dilanjutkan dengan Ngunduh Mantu yang digelar di kediaman orang tua Jaka di Lampung. Sesuai budaya asal Jaka, suasana Sunda mewarnai acara ini dilengkapi dengan berbagai prosesi seperti sawer, nincak endog, meulem harupat, dan sebagainya.
